Rabu, 20 April 2016

Menapak Jalan Menuju Hakikat

Oleh: Ruhullah Syams Setiap manusia yang meyakini keberadaan realitas zahir dan batin (gaib), tentunya berpikiran
tentang jalan untuk meraih dan menggapai kedua realitas tersebut. Karena realitas zahir adalah sesuatu yang terang,
jelas, dan bahkan badihi (swa-bukti) bagi setiap orang, maka jalan ini sangatlah mudah untuk ditapaki dan diraih oleh
semua orang. Misalnya ketika seseorang merasa haus atau lapar, dengan mudah ia dapat menghilangkan dahaga atau
laparnya dengan meneguk air atau menyantap makanan. Namun, terkadang dikarenakan realitas zahir ini juga,
kebanyakan manusia pada akhirnya mengabaikan realitas batin. Padahal realitas ini jauh lebih sempurna, lebih indah,
dan lebih permanen dari realitas lahir.
Kognisi Diri; Jalan Mencapai Batin “Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya” (Al-
Hadits)Beberapa hal berikut ini yang perlu disebutkan dalam rangka kognisi diri:Pertama: Dzat manusia terbentuk dari
dua substansi: Substansi cahaya yang membentuk nafs dan substansi gelap yang membentuk jasad. Nafs, adalah
hidup, berakal, bekerja dan aktif: sedangkan jasad, adalah mati, jahil, dan pasif.Kedua: Kesempurnaan, keutamaan, dan
kelebihan atas yang lain, dapat diperoleh manusia hanya dengan jalan pengetahuan dan pengamalan terhadap
kemestiannya, bukan sesuatu yang lain.Ketiga: Pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
keutamaan dan kesempurnaan serta dengan memilikinya akan menaikkan manusia dari kesejajaran hewan-hewan
sampai derajat malaikat muqarrabin, bukanlah setiap ilmu (baca; sembarang ilmu). Betapa banyak ilmu dan
pengetahuan yang menjadi karya ilmuan tapi hanya menyibukkan para pembacanya, sebab isi dan kandungannya tidak
lebih hanya semacam ungkapan-ungkapan perkataan. Adapun ilmu dan makrifat yang bermanfaat di akhirat hanyalah
ilmu dan makrifat yang ulama akhirat memberikan perhatian sangat besar terhadapnya, sementara ulama dunia
membelakanginya, yakni pengetahuan dan makrifat terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kitabkitab
suci-Nya, dan para Nabi-Nya (Insan Kamil). Juga pengetahuan terhadap hari kiamat (eskatologi), nafs manusia
serta bagaimana nafs mengalami kesempurnaan dan kenaikannya -dari posisi kehewanan- mendapatkan kondisi fana
sampai pada tataran malakut dan ruhani yang langgeng dan abadi.Keempat: Kesempurnaan ilmu dan makrifat demikian
ini tidak mungkin diperoleh kecuali dengan jalan riadah dan kesungguhan syar'i serta keilmuan dan menjaga syaratsyarat
khusus. Dan kemungkinan untuk meraihnya terbuka lebar bagi setiap orang, namun karena hanya sedikit yang
mengarunginya dengan sungguh-sungguh maka hanya sedikit orang yang berhasil menggapainya.Untuk memahami
ungkapan-ungkapan di atas dengan baik, kami menjelaskannya dalam bentuk suatu contoh:Nafs (jiwa) manusia dalam
mempersepsi topik-topik benar dan hakikat sesuatu, berposisi sebagai cermin yang berhadapan dengan gambarangambaran
ma'lumât (hal-hal yang diketahui). Sementara sebab tak terlihatnya suatu gambaran dalam cermin, ada lima
hal:1. Cermin masih belum dalam bentuk sempurnanya, misalnya bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatannya
sudah tersedia, tapi cermin masih belum dibuat.2. Terkadang cermin telah jadi, tapi kotoran, karatan, dan debu
mengenainya (menutupinya).3. Dikarenakan kita tidak memposisikan cermin pada posisi dimana gambar (rupa) ingin
disaksikan, misalnya obyek dan benda yang ingin disaksikan berada dibelakang cermin.4. Antara cermin dan benda
terdapat sesuatu –misalnya tirai- sebagai penghalang.5. Kita tidak mengetahui secara pasti posisi dimana
sesuatu yang menjadi obyek perhatian di arahkan, sehingga cermin kita letakkan ke arah tersebut.Demikian juga seperti
lima perkara ini tentang substansi nafs manusia, dimana ia memiliki kesiapan sebagai sebuah cermin bagi tajalli
gambaran hakikat Hak Swt. Oleh karena itu, langkah mendasar yang dibutuhkan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat
Ilahiah adalah mengenal diri dan nafs kita terlebih dahulu. Bahwa nafs adalah suatu substansi cahaya, hidup, berakal,
bekerja, aktif, dinamis, dan abadi. Dari dimensi-dimensi yang dimilikinya itu, ia memiliki pelbagai kesiapan untuk
menyerap asma dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Takhallaqu Bi
Akhlâqillah (Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Namun tentunya dengan syarat ia harus memiliki kebersihan dan
kesucian, sehingga dimensi-dimensi yang dimilikinya tersebut dapat bekerja dengan baik dan sempurna dalam
berhadapan dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang senantiasa terpancar di alam makro kosmos dan mikro
kosmos. Kemungkinan Musyhadah Alam GaibTidak diragukan, para pembesar agama-agama –dalam hal ini para
nabi As- dengan perbedaan tingkatan yang mereka miliki, mempunyai hubungan dengan alam metafisika (baca; alam
gaib) dan memiliki informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara batini. Namun masalahnya adalah apakah
maqam dan kedudukan ruhani ini hanya terkhusus bagi mereka? Apakah ia merupakan pemberian Tuhan yang hanya
terbatas bagi mereka ataukah orang-orang lain yang mengikuti jalan ilmu, makrifat, dan amali mereka, juga berpeluang
untuk menggapainya?Dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan terhadap perkara-perkara batini dan rahasirahasia
gaib terbatas hanya bagi para nabi As dan orang-orang lain yang berada di alam materi ini tidak mampu
mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati, ataukah maqam tersebut merupakan perkara iktisabi
(maksudnya dapat diperoleh dengan berusaha dan berupaya) dan orang-orang lain juga berpeluang meraihnya?
Tentunya jawaban kita dalam hal ini adalah bahwa orang-orang lain juga mampu mendapatkan jalan kepada rahasiarahasia
alam.Salah satu argumennya adalah; hubungan alam materi (fisika) dengan alam metafisika, hubungan sebab
dan akibat serta sempurna dan kurang. Dan kita menamakan hubungan ini dengan hubungan zhahir dan
batin.Sebagaimana kita alami bahwa zhahir secara daruri kita saksikan, sementara penyaksian zhahir tidak bisa kosong
dari penyaksian batin, sebab keberadaan zhahir adalah gradasi keberadaan batin dan merupakan manifestasinya;
karena itu, batin juga tersaksikan secara aktual ketika zhahir tersaksikan. Dan sebagaimana zhahir merupakan batasan
dan manifestasi batin maka ketika manusia mengenyampingkan batasan ini dan bersungguh-sungguh (mujahadah)
untuk mengabaikannya, tidak diragukan dia akan menyaksikan yang batin.Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat
dari alam mitsal, yakni jika kita ingin dalam bentuk suatu tangga naik ke atas maka kita dari alam materi akan naik ke
alam mitsal. Dan alam mitsal ini, sekarang juga bersama kita, ia maujud secara aktual saat ini. Oleh karena itu,
hubungan alam zhahir dengan alam batin adalah hubungan akibat dengan sebab. Seperti konsepsi yang ada di akal manusia dengan tulisannya. Manusia, ketika sedang menulis, secara beruntun dia mengkonsepsi dan menuliskannya.
Dan jika sedetik dia berhenti mengkonsepsi (sesuatu) maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu.Pada hakikatnya
dalam konteks ini juga berlaku sistem sebab dan akibat. Zhahir yang disaksikan ini, ia sendiri keberadaannya tegak atas
dasar batin. Dan meskipun pada dasarnya batin juga tersaksikan, tapi kita tidak melihatnya. Ketika kita menyaksikan
zhahir, batin juga secara aktual tersaksikan oleh kita. Jika seseorang penglihatan batinnya terbuka maka tidak mungkin
penyaksian zhahirnya tidak membawanya pada penyaksian batin; sebab wujud zhahir tidak lain merupakan bentuk dan
gambaran dari wujud batin. Jadi zhahir itu adalah batin yang bertajalli dan memanifestasi. Karena itu, dengan
penyaksian alam materi ini maka batin juga tersaksikan.Zhahir adalah batasan batin. Pada hakikatnya alam batin
terbatasi dengan alam zhahir. Jika seseorang mampu dengan mujahadah nafs memecahkan batasan ini dan tidak
menghiraukannya maka dia niscaya akan menyaksikan batin dari alam ini. Sebagaimana nafs mempunyai kesatuan
dengan badan, maka di satu sisi nafs memandang dirinya adalah badan itu sendiri. Namun ketika badan dari jalan
penginderaannya menyaksikan nafs maka dia menyangka dirinya terpisah dari nafs, dan ketika persangkaan ini
mengambil bentuk maka nafs berhenti pada tataran badan dan melupakan tingkatannya yang tinggi. Tingkatan tinggi
setiap orang adalah alam mitsal dan alam akalnya. Dan nafs, ketika melupakan suatu tingkatan dari tingkatantingkatannya
maka dia akan melupakan juga kekhususan-kekhususan yang terkhususkan tingkatan tersebut dan alam
yang terkhususkan untuknya; akan tetapi pada saat yang sama dia tetap menyaksikan inniyyah dan hakikat dirinya,
yakni akunya. Penyaksian ini adalah daruri dan tidak dapat terpisahkan.Oleh karena itu, dengan terputusnya aku dari
badan maka tidak terdapat lagi tirai penghalang. Berasaskan ini, jika seseorang kembali kepada nafs dan hakikat dirinya
dengan ilmu dan makrifat serta amal baik, niscaya hakikat nafs, tingkatan-tingkatannya, maujud-maujud dan rahasiarahasia
batin alam akan dia saksikan.Jadi jelaslah bahwasanya manusia selain para nabi As dan maksumin As, juga
mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terhadap alam metafisika (alam gaib) ketika
dia masih hidup di alam materi ini, yakni bukan hanya hakikat-hakikat yang tersembunyi dan rahasia itu baru mereka
bisa saksikan setelah kematian natural dialaminya. Musyahadah Batin Dalam Al-Qur’an dan RiwayatUntuk
mengakhirkan bahasan ini kami akan menukilkan sebagian dalil-dalil nakli yang mendukung pandangan tersebut di atas.
Bukti dan dalil ini akan memberi kesaksian bahwa manusia mampu menyaksikan rahasia-rahasia dan batin alam sejak
dalam kehidupannya di alam materi ini.Ayat al-Qur’an menyebutkan: “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia
adalah Hak. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi syahiid atas segala sesuatu? Ingatlah,
sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah sesungguhnya Dia Maha
Meliputi segala sesuatu.” (Qs. Fussilat [41]: 53-54) Sebagian mufassir seperti Allamah Thabathabai menafsirkan
bahwa kata syahiid dalam ayat ini tidaklah bermakna syaahid, tetapi bermakna masyhuud, dengan qarinah bahwa dalam
ayat ini disebutkan tentang Tuhan memperlihatkan tanda-tanda-Nya sehingga jelaslah Dia Hak Swt.Dan ayat al-
Qur’an: “Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh
Allah Maha luas, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah[2]: 115) Sebab Tuhan, Dialah yang awal dan akhir dan Dia
pula yang zhahir dan batin maka ke mana pun maujud-maujud ini mengarahkan pandangnnya, yang mereka saksikan
adalah wajah-Nya, apakah itu yang zhahir ataukah yang batin. Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw: bahwa
beliau masuk masjid pada waktu subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan seorang pemuda kurus namun penuh
cahaya di wajahnya duduk di salah satu sudut masjid. Rasulullah bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh ini?
Pemuda itu menjawab: Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada Allah Swt.Bertanya Rasulullah tentang kondisi
ZaidBagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati?Berkata Aku hamba yang yakinBertanya mana bukti
keyakinan yang menakjubkan itu?Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langitDan aku melihat dan
menyaksikan Arasy dan para penghuninya.Diriwayatkan bahwa Haris bin Malik berkata kepada Nabi Saw: "Ya
Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan aku melihat surga beserta penghuninya dan aku
mendengar suara-suara mereka" (Ushul al-Kafi, Jld. 2, Bab Hakikat al-Iman wa al-Yaqin) Imam Ali As dalam khutbahnya
menta'birkan kelompok manusia seperti ini dengan ungkapannya: "Mereka ada di alam dunia ini, menyaksikan Surga
seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati keindahannya". (Nahjul Balagah, Khutbah 193) Mampukah kita
menjadi orang-orang yang dapat menyaksikan batin dari alam ini? Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar