Rabu, 12 Februari 2014

Hukum Sholat Qodho

Dari bermacam-macam sholat, kita pasti tidak asing dengan yang namanya sholat qodho, sebagai mukaddimah, ini saya nukilkan pembahasan sholat qodho dari aljawad.tripod.com Shalat qodho hukumnya wajib sebagaimana wajibnya melakukan sholat ada’. Shalat qodho ialah : Melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, untuk menggantikan shalat wajib harian yang tertinggal. Shalat ada’ ialah : Melakukan shalat wajib harian tepat menurut waktu yang telah ditentukan. Pengertian qodho hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu). Sedang untuk shalat wajib lainnya, seperti shalat Jum’at, Ied (hari raya, baik ghodir, fitri dan adhha), Ayat dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qodhonya saat tertinggalkan, kecuali untuk gerhana matahari dan gerhana bulan yang total, walaupun diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qodho gerhana yang total), saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qodho, cukup dengan niat melakukan shalat. Kewajiban qodho ini dibebankan pada setiap orang, baik dengan sengaja dia meninggalkan shalat atau tidak, dia mengerti hukum keharusannya atau tidak, dalam keadaan tidur atau terbangun, bepergian atau di rumah, dan lain sebagainya. Sebagaimana bunyi dalil berikut : Imam Bagir a.s. ditanya tentang seseorang melakukan shalat dalam keadaan hadas (belum bersuci), atau shalat yang terlewatkan olehnya karena lupa atau tertidur dan belum ia lakukan ? Dijawab oleh beliau : “Wajib baginya untuk mengqodho shalat yang tertinggal kapan saja ia mengingatnya, baik malam maupun siang. Tetapi apabila (timbulnya ingatan) masuk pada waktu shalat berikutnya, dan belum menyelesaikan (melakukan) shalat yang tertinggalkan olehnya, maka lakukan shalat qodho asalkan tidak takut akan habisnya pemilik waktu, karena pemilik waktu lebih berhak untuk dilaksanakan terlebih dahulu daripada shalat qodho. Seusai melakukan (shalat) pemilik waktu, lakukanlah shalat yang tertinggal, dilarang melakukan shalat nafilah walaupun satu rakaat, sebelum tanggungan kewajibannya diselesaikan secara keseluruhan. [Al-Wasail, juz 4, hal. 248.] Kewajiban qodho ditetapkan dan dipikulkan pada pundak mereka yang memiliki kewajiban ada’, dan kewajiban qodho jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada’. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kekufuran, hilangnya kesadaran diri yang tidak disengaja dan lain sebagainya, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qodho (karena kewajiban ada’ terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada’ terpikulkan kembali ke pundak mereka (dengan pulihnya keadaan). Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qodho : 1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya. 2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat. 3. Kekufuran, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali. Ada dua kesimpulan setelah melakukan shalat qodho : *) Pertama, bagi mereka yang shalatnya (atau kewajiban-kewajiban lain) tertinggal karena lupa (atau karena alasan-alasan lain yang menafikan kewajiban ada’) tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqodho’ kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajiban ditangguhkan sampai mereka ingat atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi. Kedua, bagi mereka yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut secara sengaja, tetap mendapat dosa walaupun mereka telah ganti dengan mengqodhonya, karena mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka. *) Harus tertib saat mengqodho shalat yang tertinggal secara berurutan dan tidak terlewatkan sampai hari berikutnya. Contohnya : Jika yang tertinggal adalah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, kemudian ingat setelah masuknya waktu Isya, atau yang tertinggal hanya shalat Dhuhur dan Ashar, dan ingatnya setelah masuk waktu Maghrib, atau yang tertinggal adalah shalat yang jenisnya sama (tiga kali shalat Subuh saja misalnya) di hari yang berbeda-beda, maka shalat Subuh walaupun qodho lebih didahulukan dari pada shalat Dhuhur yang ada’, karena keberadaan shalat Subuh lebih dahulu dari pada shalat Dhuhur, walaupun harinya telah lewat Marilah kita diskusikan masalah sholat qodho ini ! karena ini sangat penting, jangan sampai kita beramal tanpa didasari ilmu yang benar.

Mujahadah: The Struggle of Life

     Tingkatan (Maqam) yang ke-5 dalam konsep tasawuf adalah Mujahadah yaitu bersungguh-sungguh. Secara istilah mujahadah dapat diartikan sebagai satu bentuk kesungguhan untuk menjalankan perintah Allah dengan memenuhi segala kewajiban dan menjauhi atas larangan-Nya; secara lahir dan bathin dengan wujud nyata berupaya  melawan (menundukkan) hawa nafsu.[1] Dalam sebuah hadisnya, Rasul SAW bersabda:

مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ اللهِ

“Seorang Mujahid (orang yang berjihad) ialah dia yang melawan hawa nafsunya karena Allah SWT”[2]Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwasanya di antara tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah yaitu dia mengutamakan perkara yang di sukai-Nya daripada mengutamakan kehendak nafsu pribadinya. Sejalan dengan ungkapan indah Abdullah Ibnu Mubarak:”Jika cintamu benar, kamu akan menaati-Nya, karena seseorang yang mencintai sesuatu sanggup menaati sesuatu”. Orang-orang yang sanggup melawan hawa nafsu adalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, inilah kekuatan yang ada dalam diri umat Islam. Kepercayaan ini menjadikan mereka sebagai golongan yang sanggup untuk menghindari kenikmatan sesaat demi mendapatkan kebahagian jangka panjang yang kekal nan abadi yaitu kebahagian akhirat. Denis Waitley dalam Empires of  The Mind berkata: “Saya berpendapat, salah satu faktor utama yang menyebabkan Amerika bermasalah pada hari ini adalah, karena rakyatnya begitu asyik dan gairah dengan kesenangan jangka pendek dan melupakan jangka panjang”.
Isyarah ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ankabut ayat 69:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami, Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Berkaitan dengan ayat diatas, Imam Ad-Darani berkata:”Mereka yang bermujahadah berdasarkan ilmu yang diketahui, maka akan di tunjukkan oleh Allah tentang perkara yang belum diketahui”. Fudhail al-Iyadh mengatakan: “Orang-orang yang bermujahadah untuk mencari ilmu, Allah akan tunjukkan kepadanya jalan untuk beramal”. Junaid al-Baghdadi berkata: “Mereka yang bermujahadah dengan bertaubat, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keikhlasan”, dan sahabat rasul SAW Abdullah Ibnu Abbas RA pernah mengatakan:”Orang-orang yang bermujahadah untuk melakukan ketaatan, Allah akan tunjukkan kepada mereka jalan pahala dan keagungan rahmat-Nya”.
Para ulama tasawuf sangat menekankan arti pentingnya mujahadah untuk mencapai martabat tertinggi dalam rangka menggapai derajat mulia di sisi-Nya, salah satunya dengan mujahadah (kesungguhan). Tanpa mujahadah seseorang tidak akan pernah tercapai apapun yang ia lalui dalam kehidupannya. Mujahadah di lakukan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan) dirinya kepada Allah SWT, bukan untuk mencapai kasyaf,karamah atau untuk mencapai berbagai maqamat (tingkatan) demi kepentingan individu ataupun yang bersifat duniawi, melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah SWT, sehingga dapat tercapai hakikat tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyah yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dalam amalan tasawuf sering dilahirkan berbagai ungkapan, baik dalam bentuk doa ataupun munajat, seperti:

ِإلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ , أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ

“Ya Allah, Wahai Tuhanku! Engkau adalah yang kutuju, dan hanya keredhaan-Mu lah yang sentiasa kucari, anugerahkanlah padaku rasa untuk selalu mencintai-Mu dan selalu mengingat dalam setiap denyut nadiku”.
Imam al-Ghazali mengatakan, dalam setiap maqam (Tingkatan) terdiri dari tiga perkara untuk bisa dikatakan mencapai kesempurnaan,  yaitu: ilmu, amal dan hal (nur). Ilmu dicapai melalui pembelajaran dan pengkajian, setelah diperoleh wajib untuk di amalkan, kemudian pengamalan yang jujur, sungguh-sungguh serta istiqomah akan membuahkanhal (nur=cahaya) bagi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Inilah makna yang tersirat dalam pemahaman ayat diatas.
Manusia mempunyai lima unsur terpenting dalam dirinya, yaitu:
1. Ruh
2. Qalbu (Hati)
3. Hawa Nafsu (Syahwat)
4. Jasad
5. Anggota Badan
Peranan kelima unsur tersebut diatas, bisa kita umpamakan sebuah kerajaan dimana Ruhsebagai SultanQalbu adalah SinggasananyaHawa Nafsu musuh dalam selimut (musuh dalaman)Jasad kita artikan sebagai wilayah kekuasaan dan anggota badan adalahrakyatnya.
Di antara kelima unsur ini selalu wujud persaingan antara Ruh=Sultan, yang ingin memerintah dengan adil dan bijaksana, dan Nafsu=musuh yang datang umpama “duri dalam daging” yang berusaha untuk menzalimi rakyat, serta memiliki hasrat untuk menghancurkan wilayah kekuasaan dan pemerintahan sultan/jasad. Oleh karena itu, sultan di mohon untuk selalu waspada terhadap rancangan serta selalu memantau segala tindakan musuh yang akan menzalimi rakyat, ataupun bertindak anarkis untuk menghancurkan wilayah kekuasaan dan merebut tahta sang sultan.
Dari sini kita tahu bahwa semua aktivitas ruh terhadap hawa nafsu ini kemudian di namakan mujahadah, dengan kata lain ruh harus selalu bermujahadah ke atas hawa nafsu supaya nafsu tidak mengganggu atau dapat mempengaruhi anggota badan dengan perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syari’at. Selain itu, karena supaya Qalbu tidak di usik dengan sifat-sifat tercela. Pada waktu yang sama, ruh akan berusaha meningkatkan kualitasnya sendiri agar ia selalu dihiasi dengan sifat-sifat yang mulia yang akan terpancar dan kembali memberikan pengaruh kepada Qalbu, Jasad dan anggota badan.
Imam Ibnu al-Qayyim dalam hal ini pernah berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan melakukan jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah-Nya adalah dia yang paling besar perilaku jihadnya. Jihad yang paling utama adalah jihad melawan nafsu, keinginan buruk (syahwat), bujukan syaitan, dan melawan rayuan duniawi.
Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan keempat hal tersebut, maka Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah-Nya”. Sebagaimana dalam Al-Quran di sebutkan:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْ وَى

Artinya:
“ Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya Syurgalah tempat tinggal(nya)”.
Mujahadah diri (mujahadah al-nafs) adalah perjuangan sungguh-sungguh atau jihad melawan egoisme (nafsu pribadi). Mengapa jihad atau perang melawan hawa nafsu sendiri menjadi sesuatu yang penting? Seandainya kita telusuri dari sudut pandang normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan perilaku atau amaliah dalamkehidupan ini. Maka wajar, sampai Rasul SAW menyebutnya perang melawan hawa nafsu merupakan jihad akbar, yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir; yang sering disebut oleh beliau sebagai jihad kecil(al-jihad al-asghar).Sebagaimana dalam Kitab Riayah Akhir karangan Syeikh Ahmad Rifa’I dalam halaman terakhir dari Korasan 19 dikatakan:

قَالَ النَّبِيُّ : رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأصْغَرِ إِلىَ جِهَادِ الأَكْبَرِ ,

قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَكْبَرِ؟ قاَلَ اَلْجِهَادُ فِى النَّفْسِ

“Nabi SAW bersabda: Telah kembalilah kita dari sebuah perlawanan yang kecil (perang Badar dengan orang Kaum Kafir Quraisy waktu itu), menuju peperangan yang agung, bertanyalah para sahabat: Ya Rasulallah, apa yang engkau maksudkan peperangan yang besar, rasul menjawab: Perang melawan hawa nafsu”.
Jika kita telaah secara hakiki, hawa nafsu merupakan poros kejahatan (ma’wa kulli syarrin). Karena nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang seharusnya wajib ditunaikan, serta mengabaikan terhadap kewajiban-kewajibannya. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsu, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya, karena nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan itu semua di sebabkan karena semua perbuatan yang mengarah kepada nafsu pasti menyenangkan. Maka sangat beruntung bagi sesiapa yang bisa mematahkan (mengalahkan) hawa nafsunya, dan tetap menjadikan akal fikiran bersihnya sebagai pemimpin dalam setiap aktivitas kehidupannya, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ulama:

طُوْبَى لِمَنْ كَانَ عَقْلُهُ أَمِيْرًا وَهَوَاءُهُ يَكُوْنُ أَسِيْرًا[3]

Artinya:
“ Beruntung sekali kepada siapapun yang bisa menjadikan akal fikirannya sebagai Sultan (mampu memerintah), sehingga hawa nafsunya bisa dikalahkan”.
Mujahadah (Kesungguhan) dapat kita awali dengan cara memusuhi nafsu diri kita, mengangkat tabuh genderang peperangan terhadapnya. Banyak jalan menuju mujahadah, termasuk salah satu contohnya adalah dengan cara merenungi akibat/effect dari kebaikan (natijah al-hasanat) dan akibat/effect kejahatan (natijah al-sayyiat). Allah SWT berfirman:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

“Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik kepada dirimu sendiri. Jika kamu berlaku jahat, maka kamu berbuat jahat pada dirimu sendiri.”
Oleh sebagian ulama ayat ini ditafsirkan bahwa: “Sesungguhnya amal kebaikan melahirkan cahaya dalam kalbu, kesehatan pada badan, kecerahan pada wajah, keluasan pada rezeki, serta kecintaan dari segala makhluk. Adapun kejahatan; sebaliknya, menciptakan kegelapan dalam hati, kesakitan badan, kesuraman wajah, kesempitan rezeki, serta kebencian dari hati segala makhluk.”
Para pelaku tindak kriminal di sekitar kita, seperti para koruptor, pemakai narkoba(dadah), pembunuh, mereka adalah orang-orang yang gagal dalam melakukan mujahadah. Sebaliknya, mereka sentiasa asyik menuruti segala keinginan dan syahwatnya, sehingga tertawan dan diperbudak olehnya. Mereka tidak pernah menyadari tentang buah kejahatan yang akan datang menjelang; cepat atau lambat. Yang mereka pikirkan adalah bayangan semu tentang kenikmatan sesaat nan instan.
Kesan-Kesan Tasawuf
Realitas tertinggi dan amalan yang paling utama di sisi Allah SWT pada hari kiamat adalah orang-orang yang dalam hidupnya selalu memperbanyak zikir kepada-Nya, baik di saat dia berdiri, duduk, berbaring dan dalam berbagai posisi apapun, sejalan dengan Isyarah al-Quran surah Ali Imran ayat 190-191, Allah SWT berfirman:

إِنَّ فِىْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَأَيتٍ لِأُولِى اْلألَبْاَبِ

اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَّفُعُوْدًا وَّعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِىْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya:
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Orang-orang yang masuk kategori dalam ayat di atas, mereka akan mendapatkan kesan dalam rangka mencapai satu jalan untuk menuju ridha-Nya. Oleh karena itu, ada beberapa manfaat yang bisa di rasakan sebagai upaya sebagai hamba Allah yang sesuai dalam konsep mujahadah[4], diantaranya:
  1. Memperteguh keimanan dan membina jati diri muslim
  2. Menimbulkan kesadaran jiwa
  3. Membina kepribadian dan akhlak mulia
  4. Membentuk hamba yang bertanggung jawab
  5. Mewujudkan persaudaraan, menjaga persatuan dan kesatuan serta menebarkan sifat rahmat bagi sesama manusia.
Ibnu Dahlan el-Madary
PG.Bilal 3.34 UIAM, 15102010:1.00 am
Shollallahu ‘Alaa Muhammad Wa Aalihi

[1] Syeikh Ahmad Rifai, Riayah Akhir, bab ilmu tasawuf, Korasan: 19, halaman 17 baris 9.
[2] Shahih Bukhari, bab Jihad, Juz 20 halaman 154, Hadis ini termasuk dalam peringkat hadis yang Hasan.
[3] Syeh Ahmad Rifai, opcit. Korasan 19 halaman 19 baris 7
[4] Dr. Abdul Manam Bin Mohammad al-Merbawi, Konsep Tasawuf menurut Ahli Sufi.

apakah takdir bisa dirubah dengan do'a ?

Kita sering menyatakan atas suatu kejadian: “Ah- itu semuanya adalah Takdir, ketentuan Allah yang tidak bisa dirubah”. Betulkah semua bentuk takdir tak dapat dirubah? Dalam syarah kitab hadist Arbain Nawawi diterangkan bahwa takdir Allah swt itu ada empat macam yang dibagi kedalam dua kelompok besar, yakni TAKDIR MUBROM dan TAKDIR MU’ALLAQ, sebagaimana penjelasan dibawah ini: I. TAKDIR MUBROM (TETAP) 1.Takdir Dalam Ilmu Alloh. Takdir yang ada di ilmu Allah. Takdir ini tidak mungkin dapat berubah, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda: لاَيَهْلِكُ اللهُ إلاَّ هَالِكًا “Tiada Allah mencelakakan kecuali orang celaka, (yaitu orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Taala bahwa dia adalah orang celaka.)” 2.Takdir Dalam Kandungan. Takdir dalam kandungan, yaitu malaikat diperintahkan untuk mencatat rizki, umur, pekerjaan, kecelakaan, dan kebahagiaan dari bayi yang ada dalam kandungan tersebut. Maka takdir ini termasuk takdir yang tak dapat dirubah sesuai kelanjutan dari hadist tersebut. Takdir ini sebetulnya termasuk takdir dari Ilmu Alloh seperti no I/1 diatas yang telah digariskan dalam tubuh sang jabang bayi. (Dalam ilmu pengetahuan Genetika modern mungkin dapat digambarkan pada unsur DNA?) II.TAKDIR MU’ALLAQ (TAKDIR YANG TERGANTUNG) 1. Takdir Dalam Lauh Mahfudh. Takdir yang ada dalam Lauhul Mahfudh. Takdir ini mungkin dapat berubah, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi: يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).” Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam do’anya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”. 2.Takdir Yang Diikuti Sebab Akibat Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu DAN HAL- HAL yang telah ditentukan. Gambarannya: “Seandainya hambaku berdo’a atau bersilaturrahmi dan berbakti kepada kedua orang tua, maka Aku jadikan dia begini, jika dia tak berdo’a dan tidak bersilaturrahmi serta durhaka kepada kedua orang tua, maka ia Aku jadikan seperti ini..” Takdir ini juga dapat diubah sebagaimana hadits yang menyatakan: “Sesungguhnya sedekah dan silaturrahim dapat menolak kematian yang jelek dan mengubah menjadi bahagia.” Dalam salah satu hadits lain Nabi Muhammad saw pernah bersabda; إنَّ الدُّعَاءَ وَالبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ والاَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ البَلاَءَ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ “Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.” Khalifah Umar bin khattab, suatu ketika, pernah mau berkunjung ke Syam ( Yordania, Palestina, Suriah dan sekitarnya). pada saat itu di Syam sedang berjangkit penyakit menular, lalu Umar membatalkan rencananya tersebut. pembatalan tersebut didengar oleh seorang sahabatnya yang kemudian berkata : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah ?”. Umar pun menjawab: “Aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain yang lebih baik”. Hal senada itu juga dialami oleh Ali bin Abi Thalib, ketika beliau sedang duduk menyandar pada sebuah tembok yang ternyata rapuh, lalu beliau pindah ke tempat yang lain, sahabatnya bertanya : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah?”. Ali menjawab bahwa rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit dan sebagainya adalah hokum dan Sunnatulloh. Maka apabila seseorang tidak menghindarinya maka ia akan mendapatkan bahayanya itu. ITULAH YANG DINAMAKAN TAKDIR. dan apabila ia berusaha menghindar dan luput dari bahayanya, itu juga disebut dengan TAKDIR. BUKANKAH TUHAN TELAH MENGANUGRAH KAN MANUSIA, kemampuan memilah dan memilih, dan kemampuan berusaha dan berikhtiyar. Kemampuan itu juga takdir yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan Rasululloh sebagai tauladan tertinggi, saat Hijroh dan dikejar musuh, beliau bersembunyi di gua Tsaur sebagai bentuk Ikhtiyar, bukan karena takut atau lari dari Takdir, dan Allah telah mentakdirkan seekor burung dan seekor laba- laba bersarang disana, dan Alloh pun telah mentaqdirkan beliau akan selamat sampai di Madinah dan telah menraqdirkan pula Islam sebagai agama dunia. Syekh K.H. A.Rifa’i menulis dan menuqil dari Tuhfatul Murid Syarah Jauhar – At Tauhid dalam Kitab Ri’ayatul Himmah, demikian: ﻮﻋﻨﺪﻨﺎ ﻟﻟﻌﺑﺪ ﻜﺴﺐ ﻜﻟﻔﺎ # ﺑﻪ ﻮﻟﻜﻦ ﻻ ﻴﺆﺛﺭ ﻔﺎﻋﺭﻔﺎ “Dan bagi kita kaum Ahlussunnah, kita diwajibkan ber- usaha dan ber- ikhtiyar seraya kita harus berkeyakinan bahwa kita TIDAK BOLEH MEMASTIKAN BERHASILNYA USAHA DAN IKJTIYAR yang kita lakukan itu”. Oleh karena itu marilah kita banyak berdo’a, bersodaqoh,bersilaturrahmi, birrul Walidain serta mengamalkan kebaikan- kebaikan lainnya serta berusaha dan berikhtiyar tanpa henti, mudah- mudahan ada bagian takdir buruk kita yang bisa dihapuskan dan digantikan Allah tersebab amaliyah- maliyah dan segala ikhtiyar kita tersebut serta menggantinya dengan kebaikan- kebaikan dan keberhasilan. Amin. Karawang, 19- Maret- 2012 Ibn Khasbullah